Jumat, 06 November 2009

MITOS BUDAYA MASSA



Mitos Budaya Massa

Di dalam era virtual yang sarat informasi dan pencitraan dewasa ini, “mitos budaya massa” semakin menemukan tempatnya di ketinggian yang melebihi realitas. Bisa saja pada kenyataannya “hitam” sedang pada penampakannya “putih”, artinya di dalam era virtual ini semua tampilan atau penampakan akan bertolak belakang dari keaslian dan tercerabut dari subtansinya. Sebab itu tidak diherankan jika kualitas seseorang atau pun kualitas pada suatu produk tidak menjadi tolak ukur ditengah khalayak umum untuk dipilih, dibeli, atau dikonsumsi. Selagi kekuatan mitos yang dimunculkan lewat promisi bisa mempengaruhi publik, maka itulah yang akan menjadi keutamaan.
Sebab tujuan mitos sendiri hanyalah untuk memikat, baik itu penglihatan, pendengaran, dan pikiran, yang ujung-ujungnya kemudian membujuk dan memaksa (secara samar) audiennya untuk menyenangi, memilih, membeli, dan seterusnya. maka di dalam era virtual seperti sekarang ini tidak ada yang namanya kebenaran, melainkan manipulasi; tidak ada kepercayaan, melainkan perdayaan; tidak ada realitas, melainkan fatamorgana. Sebab itulah kejelian sangat dibutuhkan untuk menguak mitos yang dimunculkan di berbagai kampanye. Bahkan tontonan sekalipun, “mitos” akan menyusup di dalamnya untuk mempengaruhi adien.
mitos budaya massa adalah suatu sistem komunikasi yang mengandung pesan dengan fungsi gandanya yaitu, menunjukkan atau menjelaskan, kemudian memaksa secara samar. Walau pun mitos budaya massa merupakan suatu sistem komunikasi, namun tidak serta merta mitos budaya massa terbatas pada bentuk bahasa lisan atau tulisan. semua hal bisa menjadi mitos budaya massa, seperti lukisan, film, olahraga, berita koran dan seterusnya .
Mitos budaya massa pada sejatinya menjauh dari subtansinya. Apa yang dimunculkan mitos budaya massa hanyalah sekedar pencitraan belaka tentang nilai baik dan buruk. Apalagi dengan dukungan teknologi tinggi (high technology) seperti saat ini, maka mitos budaya massa tak lebih sekedar suatu sistem komunikasi untuk menyembunyikan sebuah karakter keaslian , nilai sebenarnya atau pembodohan yang sempurna.
Dalam usahanya menguak mitos budaya massa yang telah mencapai kesempurnaan, pola tiga-demensi dalam bahasa mitos yaitu, penanda, petanda, dan tanda.


  • Penanda adalah konsep untuk membuat sebuah petanda. Petanda adalah pelaksanaan dari konsep sehingga menjadi sebuah citra. Dan yang merupakan penggabungan konsep dan citra adalah tanda, sehingga mampu melahirkan mitos baik itu sempurna atau pun tidak. Di mana kesemuanya tergantung pada kecermelangan melahirkan ide ataupun konsep hingga kemudian menerapkannya menjadi tanda yang tak tercela atau mitos yang sempurna; mitos yang mampu menghipnotis Publik. 


Semisal, mustahil kita mencela tokoh idola pemain sepak bola Barat yang begitu sempurna mengarungi dunia nilai tanda, Kalau menonton sepak bola yang dilihat selain nilai skor angka juga nomor punggung pemain tersebut. Semua orang tahu dulu nomor punggung 10 itu keramat dan bila ada pemain bernomor punggung tersebut pasti dia pemain hebat. Lihatlah Mario Kempes, Diego Maradona, Zico, dan pemain besar lainnya.
Kini para pemain hebat bukan cuma nomor punggung 10. Setelah era Ronaldo nomor punggung 9 juga menandakan pemain hebat. Dulu Ivan Zamoramo di Inter Milan memakai nomor punggung 1+8 hanya karena nomor 9 sudah dipakai pemain lain. Maksa banget. Dari sisi mistis(katanya) nomor 9 memang punya arti yang bagus.
Contoh yang naif terjadi pada dunia olah raga sepak bola ini dipandang terlalu fanatik. Di mana unsur kefanatikannya yang marak sebenarnya tak mampu menyadarkan manusia secara hakiki, karena kefanatikannya yang diangkat ke permukaan bersifat naif dan tidak sportif. Semisal, tim sepak bola favoritnya kalah dalam pertandingan, kemudian sporternya mengamuk membabi buta secara massa dengan alasan karena kekecewaan. Hal seperti ini yang sebenarnya akan menghilangkan fungsi mitos budaya massa secara esensial.
Karena mitos budaya massa merupakan sistim komunikasi yang membujuk, memikat, dan memaksa secara langsung atau tidak langsung, maka mitos budaya massa selalu mengandung unsur ideologi-politik. Semisal, untuk menanamkan sebuah indonesia yang stabil, maka acara laporan khusus pada masa Orde Baru menjadi acara primadona; seorang pemimpin akan selalu memperlihatkan penampilan yang berwibawa dalam berpakaian, berbicara (bahasa lisan atau tubuh) tak lain hanya untuk merebut perhatian dan image yang baik dihadapan publik, walau pada kenyataannya (di belakang publik) sikap dan tindakannya jauh dari apa yang ditampilkan dan dibicarakan.
Memang mitos budaya massa di dalam era virtual saat ini telah mencapai puncak pengaruhnya di tengah masyarakat, sehingga masyarakat benar-benar menjadi konsumen yang setia mengikuti ritme-ritme mitos budaya massa tersebut. Akibatnya, motif yang terkandung di dalamnya tidak terungkapkan. Dan masyarakat hanya bisa menangkap pesan dari pencitraan, kemudian asumsi yang muncul adalah baik dan buruk, cantik dan jelek, wibawa dan tidak, walau pada kenyataannya yang sebenarnya tidak menunjukkan demikian. Sebab itulah, di dalam era virtual ini orang-orang dengan begitu mudah mendapatkan pencitraan sesuai dengan apa yang diinginkan, semisal menjadi bintang film atau artis sinetron tampa harus merasakan pedihnya sebuah proses; bisa menjadi pejabat pemerintahan yang tidak harus memiliki kapabelitas yang memadai, artis saja bisa menjadi pemimpin. Semua itu tergantung pada totalitas dunia tanda (a form) yang sempurna dalam menguasai khalayak umum atau karena memiliki massa dan popularitas.
Dari itulah untuk melepaskan publik dari penjara mitos budaya massa yang jelas menjerumuskan, perlu adanya ketajaman analisis tentang mitos budaya massa, baik itu tentang deminsi mitos budaya massa (konsep, citra, dan a form) atau pula mutif dari mitos budaya massa (politis-ideologis). Sebab itulah dalam karya-karya saya menyajikan berbagai contoh seputar mitos budaya massa dan analisanya, dengan harapan agar masyarakat mampu melepaskan belenggu mitos budaya massa yang akhir-akhir ini makin kuat dan samar.
































Tidak ada komentar:

Posting Komentar