Mitos Budaya Massa
Di dalam era virtual yang sarat informasi dan pencitraan dewasa ini, “mitos
budaya massa” semakin menemukan tempatnya di
ketinggian yang melebihi realitas. Bisa saja pada kenyataannya “hitam” sedang
pada penampakannya “putih”, artinya di dalam era virtual ini semua tampilan
atau penampakan akan bertolak belakang dari keaslian dan tercerabut dari
subtansinya. Sebab itu tidak diherankan jika kualitas seseorang atau pun
kualitas pada suatu produk tidak menjadi tolak ukur ditengah khalayak umum
untuk dipilih, dibeli, atau dikonsumsi. Selagi kekuatan mitos yang dimunculkan
lewat promisi bisa mempengaruhi publik, maka itulah yang akan menjadi
keutamaan.
Sebab tujuan mitos sendiri hanyalah untuk memikat, baik itu penglihatan,
pendengaran, dan pikiran, yang ujung-ujungnya kemudian membujuk dan memaksa
(secara samar) audiennya untuk menyenangi, memilih, membeli, dan seterusnya.
maka di dalam era virtual seperti sekarang ini tidak ada yang namanya
kebenaran, melainkan manipulasi; tidak ada kepercayaan, melainkan perdayaan;
tidak ada realitas, melainkan fatamorgana. Sebab itulah kejelian sangat
dibutuhkan untuk menguak mitos yang dimunculkan di berbagai kampanye. Bahkan
tontonan sekalipun, “mitos” akan menyusup di dalamnya untuk mempengaruhi adien.
mitos budaya massa adalah suatu sistem
komunikasi yang mengandung pesan dengan fungsi gandanya yaitu, menunjukkan atau
menjelaskan, kemudian memaksa secara samar. Walau pun mitos budaya massa merupakan suatu sistem komunikasi, namun
tidak serta merta mitos budaya massa terbatas pada bentuk
bahasa lisan atau tulisan. semua hal bisa menjadi mitos budaya massa, seperti lukisan, film, olahraga, berita koran dan seterusnya .
Mitos budaya massa pada sejatinya menjauh
dari subtansinya. Apa yang dimunculkan mitos budaya massa hanyalah sekedar pencitraan belaka tentang
nilai baik dan buruk. Apalagi dengan dukungan teknologi tinggi (high
technology) seperti saat ini, maka mitos budaya massa tak lebih sekedar suatu sistem komunikasi
untuk menyembunyikan sebuah karakter keaslian , nilai sebenarnya atau
pembodohan yang sempurna.
Dalam usahanya menguak mitos budaya massa yang telah mencapai kesempurnaan, pola tiga-demensi dalam bahasa mitos
yaitu, penanda, petanda, dan tanda.
- Penanda
adalah konsep untuk membuat sebuah petanda. Petanda adalah pelaksanaan
dari konsep sehingga menjadi sebuah citra. Dan yang merupakan penggabungan
konsep dan citra adalah tanda, sehingga mampu melahirkan mitos
baik itu sempurna atau pun tidak. Di mana kesemuanya tergantung pada
kecermelangan melahirkan ide ataupun konsep hingga kemudian
menerapkannya menjadi tanda yang tak tercela atau mitos yang
sempurna; mitos yang mampu menghipnotis Publik.
Semisal, mustahil kita mencela tokoh idola pemain sepak bola Barat yang
begitu sempurna mengarungi dunia nilai tanda, Kalau menonton sepak bola yang dilihat selain nilai skor angka juga nomor
punggung pemain tersebut. Semua orang tahu dulu nomor punggung 10 itu keramat
dan bila ada pemain bernomor punggung tersebut pasti dia pemain hebat. Lihatlah
Mario Kempes, Diego Maradona, Zico, dan pemain besar lainnya.
Kini para pemain hebat bukan cuma nomor punggung 10. Setelah era Ronaldo
nomor punggung 9 juga menandakan pemain hebat. Dulu Ivan Zamoramo di Inter Milan memakai nomor punggung 1+8 hanya karena
nomor 9 sudah dipakai pemain lain. Maksa banget. Dari sisi mistis(katanya) nomor
9 memang punya arti yang bagus.
Contoh yang naif terjadi pada dunia olah raga sepak bola ini dipandang
terlalu fanatik. Di mana unsur kefanatikannya yang marak sebenarnya tak mampu
menyadarkan manusia secara hakiki, karena kefanatikannya yang diangkat ke
permukaan bersifat naif dan tidak sportif. Semisal, tim sepak bola favoritnya
kalah dalam pertandingan, kemudian sporternya mengamuk membabi buta secara massa dengan alasan karena kekecewaan. Hal
seperti ini yang sebenarnya akan menghilangkan fungsi mitos budaya massa secara esensial.
Karena mitos budaya massa merupakan sistim
komunikasi yang membujuk, memikat, dan memaksa secara langsung atau tidak
langsung, maka mitos budaya massa selalu mengandung unsur
ideologi-politik. Semisal, untuk menanamkan sebuah indonesia yang stabil, maka
acara laporan khusus pada masa Orde Baru menjadi acara primadona; seorang
pemimpin akan selalu memperlihatkan penampilan yang berwibawa dalam berpakaian,
berbicara (bahasa lisan atau tubuh) tak lain hanya untuk merebut perhatian dan
image yang baik dihadapan publik, walau pada kenyataannya (di belakang publik)
sikap dan tindakannya jauh dari apa yang ditampilkan dan dibicarakan.
Memang mitos budaya massa di dalam era virtual
saat ini telah mencapai puncak pengaruhnya di tengah masyarakat, sehingga
masyarakat benar-benar menjadi konsumen yang setia mengikuti ritme-ritme mitos
budaya massa tersebut. Akibatnya,
motif yang terkandung di dalamnya tidak terungkapkan. Dan masyarakat hanya bisa
menangkap pesan dari pencitraan, kemudian asumsi yang muncul adalah baik dan
buruk, cantik dan jelek, wibawa dan tidak, walau pada kenyataannya yang sebenarnya
tidak menunjukkan demikian. Sebab itulah, di dalam era virtual ini orang-orang
dengan begitu mudah mendapatkan pencitraan sesuai dengan apa yang diinginkan,
semisal menjadi bintang film atau artis sinetron tampa harus merasakan pedihnya
sebuah proses; bisa menjadi pejabat pemerintahan yang tidak harus memiliki
kapabelitas yang memadai, artis saja bisa menjadi pemimpin. Semua itu
tergantung pada totalitas dunia tanda (a form) yang sempurna dalam menguasai
khalayak umum atau karena memiliki massa dan popularitas.
Dari itulah untuk melepaskan publik dari penjara mitos budaya massa yang
jelas menjerumuskan, perlu adanya ketajaman analisis tentang mitos budaya
massa, baik itu tentang deminsi mitos budaya massa (konsep, citra, dan a form)
atau pula mutif dari mitos budaya massa (politis-ideologis). Sebab itulah dalam
karya-karya saya menyajikan berbagai contoh seputar mitos budaya massa dan analisanya, dengan harapan agar
masyarakat mampu melepaskan belenggu mitos budaya massa yang akhir-akhir ini makin kuat dan samar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar